Me

Me

Minggu, 22 November 2015

Politik dalam pandangan Islam

Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW dan para shahabatnya seumur-umur belum pernah ikut pemilu, apalagi membangun dan mengurusi partai politik. Realita seperti ini sudah disepakati oleh semua orang, termasuk para ahli sejarah, ulama dan juga semua umat Islam.

Dengan realita seperti ini, sebagian kalangan lalu mengharamkan pemilu dan mendirikan partai. Alasannya, karena tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW, juga tidak pernah dilakukan oleh para shahabat belia yang mulia, bahkan sampai sekian generasi berikutnya, tidak pernah ada pemilu dan pendirian partai politik dalam sejarah Islam.

Bahkan sebagian dari mereka sampai mengeluarkan statemen unik, yaitu bahwa ikut pemilu dan menjalankan partai merupakan sebuah bid’ah dhalalah, di mana pelakunya pasti akan masuk neraka.

Ditambah lagi pandangan sebagian mereka bahwa sistem pemilu, partai politik dan ide demokrasi merupakan hasil pemikiran orang-orang kafir. Sehingga semakin haram saja hukumnya.

Tentu saja pendapat seperti ini bukan satu-satunya buah pikiran yang muncul di kalangan umat. Sebagian lain dari elemen umat ini punya pandangan berbeda.

Mereka tidak mempermasalahkan bahwa dahulu Rasulullah SAW dan para shahabat tidak pernah ikut pemilu dan berpartai. Sebab pemilu dan partai hanyalah sebuah fenomena zaman tertentu dan bukan esensi. Lagi pula, tidak ikutnya beliau SAW dan tidak mendirikan partai, bukanlah dalil yang sharih dari haramnya kedua hal itu. Bahwa asal usul pemilu, partai dan demokrasi yang konon dari orang kafir, tidak otomatis menjadikan hukumnya haram.

Dan kalau mau jujur, memang tidak ada satu pun ayat Quran atau hadits nabi SAW yang secara zahir mengharamkan partai politik, pemilu atau demokrasi. Sebagaimana juga tidak ada dalil yang secara zahir membolehkannya. Kalau pun ada fatwa yang mengharamkan atau membolehkan, semuanya berangkat dari istimbath hukum yang panjang. Tidak berdasarkan dalil-dalil yang tegas dan langsung bisa dipahami.

Namun tidak sedikit dari ulama yang punya pandangan jauh dan berupaya melihat realitas. Mereka memandang meski pemilu, partai politik serta demokrasi datang dari orang kafir, mereka tetap bisa melihat esensi dan kenyataan. Berikut ini kami petikkan beberapa pendapat sebagian ulama dunia tentang hal-hal yang anda tanyakan.

Seruan Para Ulama untuk Mendukung Dakwah Lewat Parlemen

Apa komentar para ulama tentang masuknya muslimin ke dalam parlemen? Dan apakah mereka membid’ahkannya?

Ternyata anggapan yang menyalahkan dakwah lewat parlemen itu keliru, sebab ada sekian banyak ulama Islam yang justru berkeyakinan bahwa dakwah lewat parlemen itu boleh dilakukan. Bahkansebagiannya memandang bahwa bila hal itu merupakan salah stu jalan sukses menuju kepada penegakan syariat Islam, maka hukumnya menjadi wajib.

Di antara para ulama yang memberikan pendapatnya tentang kebolehan atau keharusan dakwah lewat parlemen antara lain:

Imam Al-’Izz Ibnu Abdis Salam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Muhammad Rasyid Ridha Syeikh Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di: Ulama Qasim Syeikh Ahmad Muhammad Syakir: Muhaddis Lembah Nil Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-AlBani Syeikh Dr. Shalih bin Fauzan Syeikh Abdullah bin Qu’ud Syeikh Dr. Umar Sulaiman Al-’Asyqar Syeikh Abdurrahman bin Abdul Khaliq

Kalau diperhatikan, yang mengatakan demikian justru para ulama yang sering dianggap kurang peka pada masalah politik praktis. Ternyata gambaran itu tidak seperti yang kita kira sebelumnya. Siapakah yang tidak kenal Bin Baz, Utsaimin, Albani, Asy-Syinqithi, Shalih Fauzan dan lainnya?
1. Pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

a. Fatwa Pertama

Sebuah pertanyaan diajukan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang dasar syariah mengajukan calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan hukum Islam atas kartu peserta pemilu dengan niat memilih untuk memilih para da’i dan aktifis sebagai anggota legislatif. Maka beliau menjawab:
Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap amal itu tergantung pada niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Oleh karena itu tidak ada masalah untuk masuk ke parlemen bila tujuannya memang membela kebenaran serta tidak menerima kebatilan. Karena hal itu memang membela kebenaran dan dakwah kepada Allah SWT.

Begitu juga tidak ada masalah dengan kartu pemilu yang membantu terpilihnya para da’i yang shalih dan mendukung kebenaran dan para pembelanya, wallahul muwafiq.

b. Fatwa Kedua

Di lain waktu, sebuah pertanyaan diajukan kepada Syeikh Bin Baz: Apakah para ulama dan duat wajib melakukan amar makruf nahi munkar dalam bidang politik? Dan bagaimana aturannya?

Beliau menjawab bahwa dakwah kepada Allah SWT itu mutlak wajibnya di setiap tempat. Amar makruf nahi munkar pun begitu juga. Namun harus dilakukan dengan himah, uslub yang baik, perkataan yang lembut, bukan dengan cara kasar dan arogan. Mengajak kepada Allah SWT di DPR, di masjid atau di masyarakat.
Lebih jauh beliau menegaskan bahwa bila dia memiliki bashirah dan dengan cara yang baik tanpa berlaku kasar, arogan, mencela atau ta’yir melainkan dengan kata-kata yang baik.

Dengan mengatakan wahai hamba Allah, ini tidak boleh semoga Allah SWT memberimu petunjuk. Wahai saudaraku, ini tidak boleh, karena Allah berfirman tentang masalah ini begini dan Rasulullah SAW bersabda dalam masalah itu begitu. Sebagaimana firman Allah SWT:

Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS An-Nahl: 125).
Ini adalah jalan Allah dan ini adalah taujih Rabb kita. Firman Allah SWT:

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu? (QS Ali Imran: 159)
Dan tidak merubah dengan tangannya kecuali bila memang mampu. Seperti merubha isteri dan anak-anaknya, atau seperti pejabat yang berpengaruh pada sebuah lembaga. Tetapi bila tidak punya pengaruh, maka dia mengangkat masalah itu kepada yang punya kekuasaan dan memintanya untuk menolak kemungkaran dengan cara yang baik.

c. Fatwa Ketiga

Majalah Al-Ishlah pernah juga bertanya kepada Syeikh yang pernah menjadi Mufti Kerajaan Saudi Arabia. Mereka bertanya tentang hukum masuknya para ulama dan duat ke DPR, parlemen serta ikut dalam pemilu pada sebuah negara yang tidak menjalankan syariat Islam. Bagaimana aturannya?

Syaikh Bin Baz menjawab bahwa masuknya mereka berbahaya, yaitu masuk ke parlemen, DPR atau sejenisnya. Masuk ke dalam lembaga seperti itu berbahaya namun bila seseorang punya ilmu dan bashirah serta menginginkan kebenaran atau mengarahkan manusia kepada kebaikan, mengurangi kebatilan, tanpa rasa tamak pada dunia dan harta, maka dia telah masuk untuk membela agam Allah SWT, berjihad di jalan kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Dengan niat yang baik seperti ini, saya memandang bahwa tidak ada masalah untuk masuk parlemen. Bahkan tidak selayaknya lembaga itu kosong dari kebaikan dan pendukungnya.

Bila dia masuk dengan niat seperti ini dengan berbekal bashirah hingga memberikan posisi pada kebenaran, membelanya dan menyeru untuk meninggalkan kebatilan, semoga Allah SWT memberikan manfaat dengan keberadaannya hingga tegaknya syariat dengan niat itu. Dan Allah SWT memberinya pahala atas kerjanya itu.

Namun bila motivasinya untuk mendapatkan dunia atau haus kekuasaan, maka hal itu tidak diperbolehkan. Seharusnya masuknya untuk mencari ridha Allah, akhirat, membela kebenaran dan menegakkannya dengan argumen-argumennya, niscaya majelis ini memberinya ganjaran yang besar.

d. Fatwa Keempat

Pimpinan Jamaah Ansharus sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan, Syaikh Muhammad Hasyim Al-Hadyah bertanya kepada Syaikh bin Baz pada tanggal 4 Rabi’ul Akhir 1415 H. Teks pertanyaan beliau adalah:
Dari Muhammad Hasyim Al-Hadyah, Pemimpin Umum Jamaah Ansharus-Sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan kepada Samahah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, mufti umum Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Hai’ah Kibar Ulama wa Idarat Al-buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta’.

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Saya mohon fatwa atas masalah berikut:

Bolehkah seseorang menjabat jabatan politik atau adminstratif pada pemerintahan Islam atau kafir bila dia seorang yang shalih dan niatnya mengurangi kejahatan dan menambah kebaikan? Apakah dia diharuskan untuk menghilangkan semua bentuk kemungkaran meski tidak memungkinkan baginya? Namun dia tetap mantap dalam aiqdahnya, kuat dalam hujjahnya, menjaga agar jabatan itu menjadi sarana dakwah. Demikian, terima kasih wassalam.
Jawaban Seikh Bin Baz:

Wa ‘alaikumussalam wr wb. Bila kondisinya seperti yang Anda katakan, maka tidak ada masalah dalam hal itu. Allah SWT berfirman,”Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan.” Namun janganlah dia membantu kebatilan atau ikut di dalamnya, karena Allah SWT berfirman,”Dan janganlah saling tolong dalam dosa dan permusuhan.” Waffaqallahul jami’ lima yurdhihi, wassalam wr. Wb.

2. Wawancara dengan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin

Pada bulan Oktober 1993 edisi 42, Majalah Al-Furqan Kuwait mewawancarai Syaikh Muhammad bin shalih Al-’Utsaimin, seorang ulama besar di Saudi Arabia yang menjadi banyak rujukan umat Islam di berbagai negara. Berikut ini adalah petikan wawancaranya seputar masalah hukum masuk ke dalam parlemen.

Majalah Al-Furqan :. Fadhilatus Syaikh Hafizakumullah, tentang hukm masuk ke dalam majelis niyabah (DPR) padahal negara tersebut tidak menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, apa komentar Anda dalam masalah ini?

Syaikh Al-’Utsaimin : Kami punya jawaban sebelumnya yaitu harus masuk dan bermusyarakah di dalam pemerintahan. Dan seseorang harus meniatkan masuknya itu untuk melakukan ishlah (perbaikan), bukan untuk menyetujui atas semua yang ditetapkan.

Dalam hal ini bila dia mendapatkan hal yang bertentangan dengan syariah, harus ditolak. Meskipun penolakannya itu mungkin belum diikuti dan didukung oleh orang banyak pada pertama kali, kedua kali, bulan pertama, kedua, ketiga, tahun pertama atau tahun kedua, namun ke depan pasti akan memiliki pengaruh yang baik.

Sedangkan membiarkan kesempatan itu dan meninggalkan kursi itu untuk orang-orang yang jauh dari tahkim syariah merupakan tafrit yang dahsyat. Tidak selayaknya bersikap seperti itu.

Majalah Al-Furqan : Sekarang ini di Majelis Umah di Kuwait ada Lembaga Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Ada yang mendukungnya tapi ada juga yang menolaknya dan hingga kini masih menjadi perdebatan. Apa komentar Anda dalam hal ini, juga peran lembaga ini. Apa taujih Anda bagi mereka yang menolak lembaga ini dan yang mendukungnya?

Syaikh Al-Utsaimin: Pendapat kami adalah bermohon kepada Allah SWT agar membantu para ikhwan kita di Kuwait kepada apa yang membuat baik dien dan dunia mereka. Tidak diragukan lagi bahwa adanya Lembaga Amar Makmur Nahi Munkar menjadikan simbol atas syariah dan memiliki hikmah dalam muamalah hamba Allah SWT. Jelas bahwa lembaga ini merupakan kebaikan bagi negeri dan rakyat. Semoga Allah SWT menyukseskannya buat ikhwan di Kuwait.

Pada bulan Zul-Hijjah 1411 H bertepatan dengan bulan Mei 1996 Majalah Al-Furqan melakukan wawancara kembali dengan Syaikh Utsaimin:

Majalah Al-Furqan: Apa hukum masuk ke dalam parlemen?

Syaikh Al-’Utsaimin: Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala’.

Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah unutk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya di mana setiap orang akan mendapat sesuai yang diniatkannya.

Namun tindakan meninggalkan majelis ini buat orang-orang bodoh, fasik dan sekuler adalah perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini, pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT menjadikan kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang benar-benar mengausai masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak. (lihat majalah Al-Furqan – Kuwait hal. 18-19)

Jadi kita memang perlu memperjuangkan Islam di segala lini termasuk di dalam parlemen. Asal tujuannya murni untuk menegakkan Islam. Dan kami masih punya 13 ulama lainnya yang juga meminta kita untuk berjuang menegakkan Islam lewat parlemen. Insya Allah SWT pada kesempatan lain kami akan menyampaikan pula. Sebab bila semua dicantumkan di sini, maka pastilah akan memenuhi ruang ini. Mungkin kami akan menerbitkannya saja sebagai sebuah buku tersendiri bila Allah SWT menghendaki.

3. Pendapat Imam Al-’Izz Ibnu Abdis Salam

Dalam kitab Qawa’idul Ahkam karya Al-’Izz bin Abdus Salam tercantum: Bila orang kafir berkuasa pada sebuah wilayah yang luas, lalu mereka menyerahkan masalah hukum kepada orang yang mendahulukan kemaslahatan umat Islam secara umum, maka yang benar adalah merealisasikan hal tersebut. Hal ini mendapatkan kemaslahatan umum dan menolak mafsadah. Karena menunda masalahat umum dan menanggung mafsadat bukanlah hal yang layak dalam paradigma syariah yang bersifat kasih. Hanya lantaran tidak terdapatnya orang yang sempurna untuk memangku jabatan tersebut hingga ada orang yang memang memenuhi syarat.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami menurut pandangan imam rahimahullah, bahwa memangku jabatan di bawah pemerintahan kafir itu adalah hal yang diperlukan. Untuk merealisasikan kemaslahatan yang sesuai dengan syariat Islam dan menolakmafsadah jika diserahkan kepada orang kafir. Jika dengan hal itu maslahat bisa dijalankan, maka tidak ada larangan secara sya’ri untuk memangku jabatan meski di bawah pemerintahan kafir.

Kasus ini mirip dengan yang terjadi di masa sekarang ini di mana seseorang menjabat sebagai anggota parlemen pada sebuah pemeritahan non Islam. Jika melihat pendpat beliau di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa menjadi anggota parlemen diperbolehkan.

4. Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Dalam kitab Thuruq Al-Hikmah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (691- 751 H) dalam kitabnya At-Turuq al-Hukmiyah menulis:

Masalah ini cukup pelik dan rawan, juga sempit dan sulit. terkadang sekelompok orang melewati batas, meng hilangkan hak-hak,dfan mendorong berlaku kejahatan kepada kerusakan serta menjadikasn syariat itu sempi sehingga tidak mampu memberikan jawaban kepada pemeluknya. dan menghalangi diri mereka dari jalan yang benar, yaitu jalan untuk mengetahui kebenaran dan menerapkannya. Sehingga mereka menolak hal tersebut, pada hal mereka dan yang lainnya tahu secara pasti bahwa hal itu adalah hal yang wajib diterapkan namun mereka menyangkal bahwa hal itu bertentangan dengan qowaid syariah.

Mereka mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai yang dibawa rosulullah, yang menjadikan mereka berpikir seperti itu kurang nya mereka dalam memahami syariah dan pengenalan kondisi lapangan atau keduanya, sehingga begitu mereka melihat hal tersebut dan melihat orang-orang melakukan halyang tidak sesuai yang dipahaminya, mereka melakukan kejahatan yang panjang, kerusakan yang besar.mka permasalahannya jadi terbalik.

Di sisi lain ada kelompok yang berlawanan pendapatnya dan menafikan hukum allah dan rosulnya. Kedua kelompok di atas sama-sama kurang memahami risalah yang dibawa rosulnya dan diturunkan dalam kitabnya, padahal Allah swt. telah mengutus rasulnya dan menurunkan kitabnya agar manusia menjalankan keadilan yang dengan keadilan itu bumi dan langit di tegakkan. Bila ciri-ciri keadilan itu mulai nampak dan wajahnya tampil dengan beragam cara mak itulah syariat allah dan agamanya. Allah swt maha tahu dan maha hakim untuk memilih jalan menuju keadilan dan memberinya ciri dan tanda. maka apapun jalan yang bisa membawa tegaknya keadilan maka itu adalah bagian dari agama, dan tidak bertentangan dengan agama.

Maka tidak boleh dikatakan bahwa politik yang adil itu berbeda dengan syariat, tetapi sebaliknya justru sesuai dengan syariat, bahkan bagian dari syariat itru sendiri. kami menamakannya sebagai politik sekedar mengikuti istilah yang Anda buat tetapi pada hakikatnya merupakan keadilan allah dan rosulnya.

Imam yang muhaqqiq ini mengatakan apapun cara untuk melahirkan keadilan maka itu adakah bagian dari agama dan tidak bertentangan dengannya. Jelasnya bab ini menegaskan bahwa apapun yang bisa melahirkan keadilan boleh dilakukan dan dia bagian dari politik yang sesuai dengan syariah. Dan tidak ada keraguan bahwa siapa yang menjabat sebuah kekuasaan maka ia harus menegakkan keadilan yang sesuai dengan syariat. Dan berlaku ihsan bekerja untuk kepentingan syariat meskipun di bawah pemerintahan kafir.

5. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan

Syekh Shaleh Alfauzan ditanya tentang hukum memasuki parlemen. Syekh Fauzan balik bertanya, “Apa itu parlemen?” Salah seorang peserta menjawab “Dewan legislatif atau yang lainnya” Syekh, “Masuk untuk berdakwah di dalamnya?” Salah seorang peserta menjawab, “Ikut berperan serta di dalamnya” Syekh, “Maksudnya menjadi anggota di dalamnya?” Peserta, “Iya.”

Syeikh: “Apakah dengan keanggotaan di dalamnya akan menghasilkan kemaslahatan bagi kaum muslimin? Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum muslimin dan memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah kepada Islam, maka ini adalah suatu yang baik, atau paling tidak bertujuan untuk mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian kemaslahatan, jika tidak memungkinkan kemaslahatan seluruhnya meskipun hanya sedikit.”

Salah seorang peserta, “Terkadang didalamnya terjadi tanazul (pelepasan) dari sejumlah perkara dari manusia.”

Syeikh: “Tanazul yang dimaksud adalah kufur kepada Allah atau apa?”

Salah seorang peserta, “Mengakui.”

Syeikh: “Tidak boleh. adanya pengakuan tersebut. Jika dengan pengakuan tersebut ia meninggalkan agamanya dengan alasan berdakwah kepada Allah, ini tidak dibenarkan. Tetapi jika mereka tidak mensyaratkan adanya pengakuan terhadap hal-hal ini dan ia tetap berada dalam keIslaman akidah dan agamanya, dan ketika memasukinya ada kemaslahatan bagi kaum muslimin dan apa bila mereka tidak menerimanya ia meninggalkannya, apa mungkin ia bekerja untuk memaksa mereka?

Tidak mungkin kan untuk melakukan hal tersebut. Yusuf as ketika memasuki kementrian kerajaan, apa hasil yang ia peroleh? atau kalian tidak tahu hasil apa yang di peroleh Nabi Yusuf as?

Atau kalian tidak tahu tentang hal ini, apa yang diperoleh Nabi Yusuf ketika ia masuk, ketika raja berkata kepadanya, “Sesungguhnya kamu hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya dis isi kami” Nabi Yusuf saat itu menjawab, “Jadikan aku bendaharawan negara karena aku amanah dan pandai.” Maka beliau masuk dan hukum berada di tangannya. Dan sekarang dia menjadi raja Mesir, sekaligus nabi.

Jadi bila masuknya itu melahirkan sesuatu yang baik, silahkan masuk saja. Tapi kalau hanya sekedar menyerahkan diri dan ridho terhadap hukum yang ada maka tidak boleh. Demikian juga bila tidak mendatangkan maslahat bagi umat Islam, maka masuknya tidak dibenarkan. Para ulama berkata, “Mendatangkan manfaat dan menyempurnakannya, meski tidak seluruh manfaat, tidak boleh diiringi dengan mafsadat yang lebih besar.”

Para ulama mengatakan bahwa Islam itu datang dengan visi menarik maslahat dan menyempurnakannya serta menolak mafsadah dan menguranginya. maksudnya bila tidak bisa menghilangkan semua mafsadat maka dikurangi, mendapatkan yang terkecil dari dua dhoror, itu yang diperintahkan. Jadi tergantung dari niat dan maksud seseorang dan hasil yang diperolehnya. Bila masuknya lantaran haus kekuasaan dan uang lalu diam atas segala penyelewengan yang ada, maka tidak boleh. Tapi kalau masuknya demi kemaslahatan kaum muslimin dan dakwah kepada jalan Allah, maka itulah yang dituntut. Tapi kalau dia harus mengakui hukum kafir maka tidak boleh, meski tujuannya mulia. seseorang tidak boleh menjadi kafir dan berkata “Tujuan saya mulia, saya berdakwah kepada Allah,” tidak tidak boleh itu.”
Salah seorang peserta, “Apa yang menjadi jalan keluarnya?”

“Jalan keluarnya adalah jika memang di dalamnya ada maslahat bagi kaum muslimin dan tidak menghasilkan madharat bagi dirinya, maka hal tersebut tidak bertentangan. Adapun jika tidak ada kemaslahatan di dalamnya bagi kaum muslimin atau hal tersebut mengakibatkan adanya kemadorotan yaitu pengakuan yaitu pengakuan akan kekufuran, maka hal tersebut tidak diperbolehkan” (Rekaman suara)

6. Syaikh Abdullah bin Qu’ud

Sebagian orang-orang meremehkan partai-partai politik Islam yang terdapat di sejumlah negara-negara Islam seperti Aljazair, Yaman, Sudan dan yang lainnya. Mereka yang ikut didalamnya dituduh dengan tuduhan sekuler dan lain-lainnya. Apa pendapat Anda tentang hal tersebut? Sikap atau peran apa yang harusnya dilakukan oleh kaum muslimin untuk menyikapi kondisi tersebut?

Jawaban : Akar persoalan dari semua itu adalah adanya dominasi sebagian para dai terhadap yang lainnya. Dan saya berpendapat bahwa seorang muslim yang diselamatkan Allah dari malapetaka untuk memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta berdoa untuk saudara-saudaranya di Sudan, Aljazair, Tunisia dan negara-negara lainnya, ataupun bagi kaum muslimin yang berada di negeri-negeri yang jelas-jelas kafir.
Dan jika hal tersebut tidak memberikan manfaat kepada mereka, aku berpendapat minimal jangan memadhorotkan mereka. Karena sampai sekarang tidak ada bentuk solidaritas yang nyata kepada para dai tersebut padahal mereka telah mengalami berbagai ujian dan siksaan.

Dan kita wajib mendoakan kaum msulimin dan manaruh simpati kepada mereka di setiap tempat. Karena seorang mokmin adalah saudara bagi muklmin yang lainnya, jika mendengar kabar yang baik mengenai saudaranya di Sudan, Aljazair, Tunisia atau dinegeri mana saja maka hendaknya ia merespon positif dan seakan-akan ia berkata:

“Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar” (QS. An-Nisaa: 73).

Dan apa bila mendengar malapetaka yang menimpa mereka, maka hendaklah ia mendoakan untuk saudarnya-saudaranya yang sedang diuji di negeri mana saja, supaya Allah melepaskan mereka dari orang-orang yang sesat dan menjadikan kekuasaan bagi kaum muslimin dan hendaklah ia memuji Allah karena telah menjaga dirinya.

Jangan sampai ada seseorang yang bersandar dengan punggungnya di negeri yang aman lalu mencela orang-orang atau para dai yang berjuang demi Islam di bawah kedholiman dan keseweng-wenangan dan intimidasi. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan tindakan yang tidak fair. boleh jadi engkau akan mendapat ujian jika Anda tidak merespon dengan perasaan Anda apa yang dirasakan oleh kaum muslimin yang sedang mengalami ujian dari Allah..

Demikian petikan beberapa pendapat para ulama tentang dakwah lewat pemilu, partai politik, parlemen dan sejenisnya. Semoga ada manfaatnya.


Wallahu’alam bi shawab

sumber: https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=427650857316857&id=205385769543368

Sejarah perkembangan Ilmu Politik

Ilmu politik diawali dengan baik pada masa Yunani Kuno, membuat peningkatan pada masa Romawi, tidak terlalu berkembang di Zaman Pertengahan, sedikit berkembang pada Zaman Renaissance dan Penerangan, membuat beberapa perkembangan substansial pada abad 19, dan kemudian berkembang sangat pesat pada abad 20 karena ilmu politik mendapatkan karakteristik tersendiri. Ilmu politik sebagai pemikiran mengenai Negara sudah dimulai pada tahun 450 S.M. seperti dalam karya Herodotus, Plato, Aristoteles, dan lainnya. Di beberapa pusat kebudayaan Asia seperti India dan Cina, telah terkumpul beberapa karya tulis bermutu. Tulisan-tulisan dari India terkumpul dalam kesusasteraan Dharmasatra dan Arthasastra, berasal kira-kira dari tahun 500 S.M. Di antara filsuf Cina terkenal, ada Konfusius, Mencius, dan Shan Yang (±350 S.M.).

Di Indonesia sendiri ada beberapa karya tulis tentang kenegaraan, misalnya Negarakertagama sekitar abad 13 dan Babad Tanah Jawi. Kesusasteraan di Negara-negara Asia mulai mengalami kemunduran karena terdesak oleh pemikiran Barat yang dibawa oleh Negara-negara penjajah dari Barat.

Di Negara-negara benua Eropa sendiri bahasan mengenai politik pada abad ke-18 dan ke-19 banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena itu ilmu politik hanya berfokus pada negara. Selain ilmu hukum, pengaruh ilmu sejarah dan filsafat pada ilmu politik masih terasa sampai perang Dunia II.

Di Amerika Serikat terjadi perkembangan berbeda, karena ada keinginan untuk membebaskan diri dari tekanan yuridis, dan lebih mendasarkan diri pada pengumpulan data empiris. Perkembangan selanjutnya bersamaan dengan perkembangan sosiologi dan psikologi, sehingga dua cabang ilmu tersebut sangat mempengaruhi ilmu politik. Perkembangan selanjutnya berjalan dengan cepat, dapat dilihat dengan didirikannya American Political Science Association pada 1904.

Ilmu politik masa kini telah berkembang dari berbagi bidang studi yang berkaitan termasuk sejarah, filsafat, hokum dan ekonomi. Ditinjau dari tahap perkembangannya sebagai ilmu, memang tidak dapat disangkal bahwa ilmu politik agak tertinggal dibelakang jika dibandingkan dengan ilmu lainnya, seperti ilmu ekonomi yang mengalami kemajuan yang pesat seiring denagn era “revolusi industry” pertengahan abad XVIII.


Lalu mengapa ada para pakar ilmu politik yang menyebut ilmu politik sebagai “ratu” ilmu-ilmu masyarakat? Seperti halnya matematika sebagai ratu ilmu-ilmu eksakta. Kemungkinan alasannya antara lain adalah karena ilmu politik mempelajari serta memmusatkan kajiannya pada hal ikhwal yang menyangkut gejala-gejala (fenomena) paling hakiki dan mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu perjuangan untuk kekuasaan(struggle of power), atau minimal perjuangan untuk hidup(struggle of life) ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Selain itu karena ilmu politik mempelajari negara dan pemerintahan yang merupakan organisasi pada peringkat tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa bagi manusia. (May Rudy, 2003).

Proses Sejarah Perkembangan Ilmu Politik.

Dapat dikatakan bahwa ilmu politik dilahirkan di Yunani (dengan tokoh Plato, Aristoteles, Thuycidides) sekitar 4-5 abad sebelum bermulanya tahun masehi, berlanjut pada zaman Romawi (dengan tokoh Polybius dan Cicero). Lalu dibangkitkan oleh Niccolo Maciavelli di Italia (awal abad XVI), sebelum dibahas di Perancis (ahir abad XVI), dimantapkan di Inggris dan Jerman (awal abad XIX. Sampai pada akhirnya, diakui dan berkembang dengan pesat sebagai disiplin ilmu yang mandiri di Amerika Serikat (awal abad XX). Akan tetapi perkembangannya sebagai disiplin ilmu yang dikembangkan secara mandiri barulah terwujud menjelang akhir abad XIX.

Di Indonesia disiplin ilmu politik berkembang abad 13 M yang dibuktikan dengan kitab Natakertagama dan Babad Tanah Jawi.

Miriam Budiardjo (dasar-dasar Ilmu Politik, 2005:2-3) menulis bahwa sesudah perang dunia ke II perkembangan ilmu politik semakin pesat. Di Negara Belanda, dimana waktu itu penelitian mengenai Negara dimonopoli oleh Fakultas Hukum, didirikan Faculteit der Sociale Wetenschappen pada tahun1947 di Amsterdam. Di Indonesia pun didirikan fakultas-fakultas yang serupa, yang dinamakan fakultas Ilmu Sosial dan Politik (seperti pada Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) atau Fakultas ilmu-ilmu Sosial (seperti pada Universita Indonesia, Jakarta) dimana ilmu politik merupakan Departemen tersendiri. Akan tetapi, oleh karena pendidikan tinggi ilmu Hukum sangat maju, tidaklah mengherankan apabila pada permulaan perkembangannya, ilmu politik di Indonesia terpengaruh kuat oleh ilmu itu. Akan tetapi dewasa ini konsep-konsep ilmu politik yang berangsur-angsu mulai di kenal.

Pesatnya perkembangan ilmu politik sesuda perang dunia ke II tersebut juga disebabkan karena mendapat dorongan kuat dari beberapa badan internasional, terutam UNESCO(United Nations Educational Scientific and Cultural Organization). Terdorong oleh tidak adanya keseragaman dalam terminology dalam ilmu politik, UNESCO dalam tahun 1948 menyelenggarakan suatu survey mengenai kedudukan ilmu politik dalam kira-kira 30 negara. Proyek ini dipimpin oleh W. Ebenstein dari Princeton University Amerika Serikat kemudian di bahas oleh beberapa ahli dalam suatu pertemuan di Paris dan menghasilkan buku “Contemporary Political Science”.

Selanjutnya UNESCO bersama International Political Science Association (IPSA) yang mencakup kira-kira ssepuluh negara, diantaranya negara Barat, di samping India, Meksiko, dan Polandia.

Pada tahun 1952 hasil penelitian ini dibahas di suatu konferensi di Cambridge, Inggris dan hasilnya disusun oleh W. A. Robson dari London School of Economics and Political Science dalam buku The University Teaching of Political Science. Buku ini diterbitkan oleh UNESCO untuk pengajaran beberapa ilmu sosial(termasuk ekonomi, antropologi budaya, dan kriminologi) di perguruan tinggi. Kedua karya ini ditujukan untuk membina perkembangan ilmu politik dan mempertemukan pandangan yang berbeda-beda. Pada masa-masa berikutnya ilmu-ilmu sosial banyak memanfaatkan penemuan-penemuan dari antropologi, sosiologi, psikologi, dan ekonomi, dan dengan demikian ilmu politik dapat meningkatkan mutunya dengan banyak mengambil model dari cabang ilmu sosial lainnya. Berkat hal ini, wajah ilmu politik telah banyak berubah dan ilmu politik menjadi ilmu yang penting dipelajari untuk mengerti tentang politik.

Civil society

Defininisi Civil Society

Dalam masyarakat liberal, civil society adalah embrio bagi liberalisme. Dalam konsepsi Tocqueville, dimana masyarakat hidup dalam tatanan komunal, tidak tergantung dari campur tangan negara. Dapat mengorganisasi kebutuhan sendiri dan hanya terikat dengan aturan-aturan lokal. Sedangkan negara hanya mampu melakukan intervensi pada hal-hal tertentu. Namun negara masih dibutuhkan untuk membuat peraturan legal. Namun kekuasaannya harus diminimalisir. Kontrol terhadap kekuasaan negara ini dapat dilakukan dengan distribusi kekuasaan dan dilakukannya pemilihan umum secara teratur, jadi kekuasaan monopoli dapat dicegah.

Tocqueville mendefinisikan civil society sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisir dan bercirikan antara lain kesukarelaan, keswasembadaan dan keswadayaan, kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterikatan dengan norma-norma atau
nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Tatanan civil society dapat ditemukan pada asosiasi, yaitu sekelompok individu dalam masyarakat yang meyakini satu doktrin atau kepentingan tertentu dan memutuskan untuk merealisasikan doktrin atau kepentingan bersama tersebut. Asosiasi civil society juga melakukan kontrol terhadap negara agar kekuasaannya tidak melampaui ketentuan dalam masyarakat liberal. Asosiasi-asosiasi sosial ini disebutnya sebagai “independent eye” dari masyarakat.

Keberadaan asosiasi masyarakat adalah wilayah milik masyarakat yang steril dari campur tangan negara. Misalnya NGO adalah tipe asosiasi yang memiliki kebebasan. Institusi tersebut membawa individu-individu keluar dari batas-batas kehidupan peribadi menuju proyek sosial yang korelatif dengan ide partisipasi dalam sistem demokrasi. Ide utama Tocqueville adalah bahwa etika liberal yang berhimpitan dengan semangat revolusioner harus segera diakhiri dengan memantapkan dan mengkonstitusionalisasikan kebebasan lewat pembentukan lembaga-lembaga politik. Ia menyebut asosiasi ini sebagai lembaga perantara. Baginya lembaga-lembaga ini yang akan memainkan peran-peran sebagai sebuah jawaban hancurnya rezim-rezim komunis dan otoritarinisme kapitalisme yang keduanya dianggap tidak mampu memberikan tatanan yang membebaskan dan mengalami krisis.

Asosiasi ini akan melebur kepentingan-kepentingan subjektif dalam kepentingan bersama, dan melindungi individu dari negara dan pasar. Maka kemudian civil society dikembangkan agar menjadi kekuatan penyeimbang setelah negara dan pasar.

Tatanan civil society adalah bagian dari demokrasi yang ingin melahirkan kembali hak-hak warga negara sebagai pemilik awal kekuasan dan kedaulatan, mejamin terbukanya partisipasi secara terbuka. Ia juga secara tegas menolak model anarkisme, yaitu tatanan masyarakat tanpa adanya institusi negara. Tocqueiville hanya menjelaskan bagaimana civil society dapat memenuhi kebutuhannya tanpa intervensi negara. Maka satu-satunya yang membedakan political society dan civil society hanyalah pada pratek mencari, mempertahankan dan merebut kekuasaan. Civil society hanyalah menjadi entitas pressure group.
                                                         
Syarat terbentuknya Masyarakat Sipil

Masyarakat sipil melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka, sukarela, lahir secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat pada tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Masyarakat sipil adalah fenomena penengah antara ruang privat dan negara. Dalam prinsip good governance, ada tiga unsur dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu Negara, Masyarakat Sipil (Civil Society), dan Market. Nah, ketiga inilah yang menjadi motor penggerak dalam mengatur mekanisme kebijakan yang akan diambil oleh negara. Dimana keseimbangan diantara ketiganya dibutuhkan untuk kemudian menselaraskan fungsi kenegaraan dengan sebaik-baiknya.

Masyarakat sipil berbeda dengan masyarakat parokial, ekonomi, mauapun politik. Masyarakat sipil secara esensial berorientasi pasar, sehingga para aktor di dalamnya mengakui prinsip-prinsip otoritas negara dan rule of law. Agar bisa tumbuh-berkembang dan mendapat jaminan rasa aman, ia membutuhkan perlindungan dari tatanan hukum yang terlembagakan. Sehingga, masyarakat sipil bukan hanya membatasi kekuasaan negara tapi juga melegitimasi otoritas negara bila otoritas itu didasarkan pada rule of law. Akan tetapi, bila negara itu sendiri ingkar pada hukum dan memandang rendah otonomi individu dan kelompok, masyarakat sipil masih bisa berdiri (walaupun sementara atau dalam bentuk semrawut) jika elemen-elemen konstituennya beroperasi dengna seperangkat aturan-aturan bersama (yang misalnya, menjauhkan kekerasan dan menghormati pluralitas). Hal ini merupakan syarat masyarakat sipil.

Tipologi Masyarakat Sipil

 Masyarakat sipil mencakup beragam organisasi, formal dan informal, meliputi :
  1. Ekonomi: Asosiasi-asosiasi (perkumpulan) dan jaringan komersial yang produktif.
  2. Kultural: Lembaga dan perkumpulan-perkumpulan yang bersifat religious, etnis, komunal, dan lain-lain yang membela hak-hak kolektif, nilai-nilai, kepercayaan, keyakinan, dan symbol-simbol.
  3. Informasi dan pendidikan: Organisasi-organisasi yang mencurahkan dirinya pada sisi produksi dan penyebaran (apakah untuk profit atau tidak) pengetahuan umum, ide-ide, berita, dan informasi publik.
  4. Kepentingan: Kelompok-kelompok yang berusaha memajukan atau mempertahankan kepentingan material maupun fungsional dari para anggotanya (misalnya; serikat buruh, asosiasi veteran dan pensiunan, dan kelompok-kelompok profesi).
  5. Pembangunan: Organisasi-organisasi yang menghimpun sumber daya dan bakat individu untuk memperbaiki infrastruktur, lembaga, dan kualitas hidup komunitasnya.
  6. Berosrientasi isu: Gerakan-gerakan untuk perlindungan lingkungan, reformasi lahan, perlindungan konsumen, dan hak-hak perempuan, minoritas etnis, penduduk pribumi, kaum cacat, dan korban-korban diskriminasi dan penganiayaan lain.
  7. Kewarganegaraan: Kelompok-kelompok yang berusaha (secara non partisan) memperbaiki sistem politik dan menjadikannya lebih demokratis (misalnya, bekerja untuk hak asasi manusia, pendidikan dan mobilisasi pemilih, monitoring pemilu, dan pengungkapan praktek-praktek korupsi dan penyalahgunaan lainnya.


Daftar Bacaan :

  • Kompilasi Bahan Kuliah Pengantar Ilmu Politik Semester 1 tahun 2010/2011 oleh: Muhtar Haboddin, S. IP, MA dan Bandiyah, S.Fil, MA.

Masalah Pokok Ilmu Politik

Hampir selama 2.500 tahun telah ada spekulasi, studi, dan argumentasi yang berkenaan dengan negara-hakikatnya, pembenarannya, batas, fungsi, proses, dan metode yang paling cocok untuk mempelajari Ilmu Politik. Dengan kebebasan akademik dan dengan kecanggihan metode untuk pengamatan dan pengukurannya, dan sama sekali tidak berarti karena jumlah ilmuwan politik yang cakap makin meningkat, ilmu politik mengembangkan beberapa bidang atau subdisiplin sebagai berikut:

1. Filsafat Politik

Setiap tindakan politik melibatkan beberapa nilai politik pokok yang mendasarinya. Adalah tepat bahwa renungan pokok para ilmuwan politik, sejak Plato sampai awal abad ke-20, tertuju pada nilai-nilai yang dipandang sebagai penting bagi warga negara yang baik dan negara yang adil.

Seseorang bisa menggunakan keduanya, baik fakta maupun logika, untuk mendukung nilainya, tetapi pada hakikatnya nilai tersebut harus berpegang pada petunjuk yang ada dalam dirinya sendiri-himbauan mereka kepada orang lain, rupanya, sebanding dengan anugerah rasional. Prinsip Jefferson: “yang kita pegang teguh…adalah membuktikan diri”.

Karena sifatnya filsafat politik menjadi subdisiplin ilmu politik. Pendekatan ini berkaitan dengan implikasi normative dari organisasi politik dan tingkah laku cara bagaimana seharusnya negara dan masyarakat diorganisir dan bagaimana seharusnya warga negara bertingkah laku, inilah nilai-nilai dasar manusia.

2. Peradilan dan Proses Hukum

Bersama filsafat politik, subdisiplin ini menyangga bangunan disiplin ilmu politik. Tentang bagaimana konstitusi mempengaruhi bekerjanya pemerintahan, dan sebaliknya. Tentang undang-undang, hak warga negara menurut hukum, penyelesaian konflik antarbadan pemerintahan legislatif, eksekutif dan peradilan, dan merumuskan batas kekuasaan pemerintah federal dan pemerintah pusat. Subdisiplin peradilan dan proses hukum lebih banyak berkembang daripada studi tentang konstitusi, pembuatan undang-undang oleh badan legislatif, dan implementasinya oleh badan eksekutif dan peradilan.

3. Proses Eksekutif

Simbol yang paling nampak dari suatu negara ialah kepala eksekutifnya. Bagaimana ia dipilih, tanggung jawab resmi dan tidak resmi, dan tambahan kekuasan apa yang bisa ia dapat dari perannya dalam proses politik. Peranan, kepribadian, ambisi, tujuan, citra di mata masyarakat dan internasional, dan juga kekuatan partainya dalam badan legislatif. Semua yang membuat studi subdisiplin ini menjadi menarik. Studi proses eksekutif mengisi sebagian besar studi tentang birokrasi., bagaimana ia diorganisir dan bagaimana ia berfungsi.

4. Organisasi dan Tingkah-laku Administratif

Studi tentang masalah ini tak dapat dihindarkan dari studi administrator itu sendiri, pada setiap tingkatan hirarki birokrasi. Penelitian tak hanya berkaitan dengan karakteristik format dari organisasi administrasi tapi juga dengan pola tingkah-laku yang timbul bertepatan dengan peranan administratif, tanggung jawab dan tipe-tipe kepribadian. Para peneliti dalam subdisiplin ini sering bersandar pada studi kasus rinci yang menjajaki interaksi para administrator dalam merumuskan dan melaksanakan program-program pemerintah yang sifatnya khusus.

5. Politik Legislatif

Tentang bagaimana undang-undang diciptakan dan dibuat, peraturan dan cara-cara badan legislatif mempengaruhi kebijakan legislatif, pendistribusian kekuasaan antara para anggota badan legislatif, dan hubungan anggota partai komite-senioritas dan keakraban mereka dengan pejabat pemerintah juga pada anggota legislatif lain yang dapat mempengaruhi proses legislatif.

6. Partai Politik dan Kelompok Kepentingan

Kebanyakan ilmuwan politik memandang badan legislatif sebagai lembaga utama yang struktur konflik kepentingan dan tuntutannya dinyatakan oleh partai politik dan kelompok lain yang mempunyai orientasi politik. Dan dari sudut pandang “teori kelompok”, pengesahan undang-undang melalui badan legislatif selalu dilihat sebagai perebutan pengaruh antarkelompok yang berkompetisi, yang masing-masingnya berusaha memajukan kepentingan sendiri. Wajar mempertanyakan berbagai jenis kepentingan yang disuarakan oleh kelompok ini, dan juga dalam hal partai politik.

7. Pemungutan Suara dan Pendapat Umum

Mengenai pikiran yang ada dalam masyarakat, pendapat, sikap, dan keyakinan warga negara dalam mempengaruhi pembuatan keputusan para elit politik. Motivasi mereka untuk memilih (atau tidak memilih), dan juga orientasi dari pemilih dilihat dari latar belakangnya. Dengan demikian jelas perkembangan terakhir subdisiplin ilmu politik yang demikian itu sangat tergantung pada kecanggihan ilmu (pengetahuan) dan seni riset survei-menarik kesimpulan dari pendapat dan ciri sejumlah kecil responden untuk mewakili seluruh penduduk.

8. Sosialisasi Politik dan Kebudayaan Politik

Riset survei tidaklah mungkin diabaikan dalam usaha mempelajari bagaimana warga negara sampai kepada pendapat, sikap, dan keyakinan dasar yang membentuk perilaku politik mereka. Ciri-ciri sosialisasi politik dan rangkaian pendapat, sikap, serta keyakinan itulah yang sesungguhnya menjadi bagian dari kebudayaan politik masyarakat. Sedangkan ciri-ciri kebudayaan politik tertentu merupakan variabel penting dalam menjawab beberapa pertanyaan dasar dan abadi tentang ilmu politik.
sejauh mana tingkah-laku politik sehari-hari dan “kebiasaan moral” warga negara sesuai dengan norma-norma perilaku yang ditentukan oleh konstitusi negara.

9. Perbandingan Politik

Setiap atau semua subdisiplin ilmu di atas bukan tidak bisa dipadukan dalam suatu kerangka perbandingan. Analisa perbandingan politik merupakan suatu alat untuk memahami dan mengidentifikasikan ciri-ciri yang mungkin bersifat universal yang ada pada setiap proses politik, kapan pun, di mana pun. Dengan adanya studi perbandingan politik, lahir pula bidang penelitian baru seperti, studi perbandingan elit politik, kekerasan politik, dan penyalahgunaan kekuasaan politik. Sosialisasi politik, kebudayaan politik, dan bidang studi yang lebih tradisional seperti, partai politik dan kelompok kepentingan telah semakin diperkuat dengan masuknya bidang studi tersebut.

10. Pembangunan Politik

Dengan bertambahnya jumlah ilmuwan politik, dan dengan munculnya negara yang baru merdeka di dunia, mengalirnya dukungan finansial dari lembaga pemerintah dan yayasan swasta, lahir dan berkembangnya para peneliti Amerika dan Eropa yang mampu berbahasa di luar kebudayaan barat, dan semakin canggihnya metode penelitian dan alat analisa, telah menyebabkan meledaknya minat dan pengetahuan yang melebihi batas kebudayaan yang mereka miliki. Dan sebenarnya semua masyarakat bisa dipahami dari proses pembangunan politiknya.

11. Politik dan Organisasi Internasional

Fokus dari subdisiplin ini pada pokoknya berhubungan dengan sumber-sumber yang bisa menjelaskan perbedaan dalam pembagian kekuasaan internasional. Kecenderungan dari kebanyakan (meski tidak semua) para ahli politik internasional untuk menganggap negara sebagai unit analisa yang memiliki cara tersendiri, sebagaimana kebanyakan individu menyadari dirinya sendiri, sering menyebabkan mereka berusaha memisahkan subdisiplin ini dari subdisiplin ilmu politik lainnya.

12. Teori dan Metodologi Ilmu Politik

Salah satu tanda matangnya bidang pengetahuan adalah dari ketidakmudahannya mengaitkan masalah pengembangan teorinya ke dalam disiplinnya. Istilah “teori politik” digunakan untuk membedakannya dengan “filsafat politik”, teori dapat dibuktikan atau disanggah, atau secara lebih formal lagi, “ditetapkan” atau “dibuang”, sedangkan filsafat hanya memisah-misahkan masalah tersebut. Namun demikan, pers ilmuwan politik akhirnya, menarik garis yang lebih tajam antara filsafat politik dan teori politik, yang maksudnya adalah jelas untuk membuat ilmu politik seilmiah mungkin.

Penganut-penganut aliran tradisional dan perilaku. Adanya aliran itu bukan berarti adanya patahan arang antara para ilmuwan politik yang berpaham tradisional dan perilaku. Perdebatan mencapai puncak pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, menunjukkan adanya pertumbuhan yang pesat dari disiplin ini setelah perang dunia II, yaitu dengan berkembang biaknya bidang-bidang penelitian mereka, dan munculnya generasi baru para ilmuwan politik. Mereka, dibanding dengan para pendahulunya, lebih bersemangat dalam upaya mengilmiahkan ilmu-ilmu sosial yang sejenis, terutama sosiologi dan psikologi.


Perkembangan jenis data yang baru itu disertai pula dengan pengenalan teknik analisa yang baru; analisa isi, pembentukan model, analisa faktor dan regresi, dan teknik lainnya yang dirancang untuk lebih menjamin ketetapan hasil dengan penemuan yang ada tanpa harus mengancam pendapat para ahli yang ada. Tumbuhnya minat di kalangan para ilmuwan politik pada akhir 1970-an terhadap “teori sistem” dan “fungsionalisme struktural” menunjukan adanya perhatian yang sangat baik terhadap kelompok perilaku.