Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW dan para shahabatnya
seumur-umur belum pernah ikut pemilu, apalagi membangun dan mengurusi partai
politik. Realita seperti ini sudah disepakati oleh semua orang, termasuk para
ahli sejarah, ulama dan juga semua umat Islam.
Dengan realita seperti ini, sebagian kalangan lalu
mengharamkan pemilu dan mendirikan partai. Alasannya, karena tidak ada contoh
dari Nabi Muhammad SAW, juga tidak pernah dilakukan oleh para shahabat belia
yang mulia, bahkan sampai sekian generasi berikutnya, tidak pernah ada pemilu
dan pendirian partai politik dalam sejarah Islam.
Bahkan sebagian dari mereka sampai mengeluarkan statemen
unik, yaitu bahwa ikut pemilu dan menjalankan partai merupakan sebuah bid’ah
dhalalah, di mana pelakunya pasti akan masuk neraka.
Ditambah lagi pandangan sebagian mereka bahwa sistem pemilu,
partai politik dan ide demokrasi merupakan hasil pemikiran orang-orang kafir.
Sehingga semakin haram saja hukumnya.
Tentu saja pendapat seperti ini bukan satu-satunya buah
pikiran yang muncul di kalangan umat. Sebagian lain dari elemen umat ini punya
pandangan berbeda.
Mereka tidak mempermasalahkan bahwa dahulu Rasulullah SAW
dan para shahabat tidak pernah ikut pemilu dan berpartai. Sebab pemilu dan
partai hanyalah sebuah fenomena zaman tertentu dan bukan esensi. Lagi pula,
tidak ikutnya beliau SAW dan tidak mendirikan partai, bukanlah dalil yang
sharih dari haramnya kedua hal itu. Bahwa asal usul pemilu, partai dan
demokrasi yang konon dari orang kafir, tidak otomatis menjadikan hukumnya haram.
Dan kalau mau jujur, memang tidak ada satu pun ayat Quran
atau hadits nabi SAW yang secara zahir mengharamkan partai politik, pemilu atau
demokrasi. Sebagaimana juga tidak ada dalil yang secara zahir membolehkannya.
Kalau pun ada fatwa yang mengharamkan atau membolehkan, semuanya berangkat dari
istimbath hukum yang panjang. Tidak berdasarkan dalil-dalil yang tegas dan
langsung bisa dipahami.
Namun tidak sedikit dari ulama yang punya pandangan jauh dan
berupaya melihat realitas. Mereka memandang meski pemilu, partai politik serta
demokrasi datang dari orang kafir, mereka tetap bisa melihat esensi dan
kenyataan. Berikut ini kami petikkan beberapa pendapat sebagian ulama dunia
tentang hal-hal yang anda tanyakan.
Seruan Para Ulama untuk Mendukung Dakwah Lewat Parlemen
Apa komentar para ulama tentang masuknya muslimin ke dalam
parlemen? Dan apakah mereka membid’ahkannya?
Ternyata anggapan yang menyalahkan dakwah lewat parlemen itu
keliru, sebab ada sekian banyak ulama Islam yang justru berkeyakinan bahwa dakwah
lewat parlemen itu boleh dilakukan. Bahkansebagiannya memandang bahwa bila hal
itu merupakan salah stu jalan sukses menuju kepada penegakan syariat Islam,
maka hukumnya menjadi wajib.
Di antara para ulama yang memberikan pendapatnya tentang
kebolehan atau keharusan dakwah lewat parlemen antara lain:
Imam Al-’Izz Ibnu Abdis Salam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Muhammad Rasyid Ridha Syeikh Abdurrahman Bin Nashir
As-Sa’di: Ulama Qasim Syeikh Ahmad Muhammad Syakir: Muhaddis Lembah Nil Syeikh
Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Syeikh
Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-AlBani Syeikh
Dr. Shalih bin Fauzan Syeikh Abdullah bin Qu’ud Syeikh Dr. Umar Sulaiman
Al-’Asyqar Syeikh Abdurrahman bin Abdul Khaliq
Kalau diperhatikan, yang mengatakan demikian justru para
ulama yang sering dianggap kurang peka pada masalah politik praktis. Ternyata
gambaran itu tidak seperti yang kita kira sebelumnya. Siapakah yang tidak kenal
Bin Baz, Utsaimin, Albani, Asy-Syinqithi, Shalih Fauzan dan lainnya?
1. Pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
a. Fatwa Pertama
Sebuah pertanyaan diajukan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz
tentang dasar syariah mengajukan calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan hukum Islam atas kartu peserta pemilu dengan niat memilih untuk
memilih para da’i dan aktifis sebagai anggota legislatif. Maka beliau menjawab:
Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap amal itu tergantung
pada niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Oleh karena itu
tidak ada masalah untuk masuk ke parlemen bila tujuannya memang membela
kebenaran serta tidak menerima kebatilan. Karena hal itu memang membela
kebenaran dan dakwah kepada Allah SWT.
Begitu juga tidak ada masalah dengan kartu pemilu yang
membantu terpilihnya para da’i yang shalih dan mendukung kebenaran dan para
pembelanya, wallahul muwafiq.
b. Fatwa Kedua
Di lain waktu, sebuah pertanyaan diajukan kepada Syeikh Bin
Baz: Apakah para ulama dan duat wajib melakukan amar makruf nahi munkar dalam
bidang politik? Dan bagaimana aturannya?
Beliau menjawab bahwa dakwah kepada Allah SWT itu mutlak
wajibnya di setiap tempat. Amar makruf nahi munkar pun begitu juga. Namun harus
dilakukan dengan himah, uslub yang baik, perkataan yang lembut, bukan dengan
cara kasar dan arogan. Mengajak kepada Allah SWT di DPR, di masjid atau di
masyarakat.
Lebih jauh beliau menegaskan bahwa bila dia memiliki
bashirah dan dengan cara yang baik tanpa berlaku kasar, arogan, mencela atau
ta’yir melainkan dengan kata-kata yang baik.
Dengan mengatakan wahai hamba Allah, ini tidak boleh semoga
Allah SWT memberimu petunjuk. Wahai saudaraku, ini tidak boleh, karena Allah
berfirman tentang masalah ini begini dan Rasulullah SAW bersabda dalam masalah
itu begitu. Sebagaimana firman Allah SWT:
Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS An-Nahl:
125).
Ini adalah jalan Allah dan ini adalah taujih Rabb kita.
Firman Allah SWT:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu? (QS Ali Imran: 159)
Dan tidak merubah dengan tangannya kecuali bila memang
mampu. Seperti merubha isteri dan anak-anaknya, atau seperti pejabat yang
berpengaruh pada sebuah lembaga. Tetapi bila tidak punya pengaruh, maka dia
mengangkat masalah itu kepada yang punya kekuasaan dan memintanya untuk menolak
kemungkaran dengan cara yang baik.
c. Fatwa Ketiga
Majalah Al-Ishlah pernah juga bertanya kepada Syeikh yang
pernah menjadi Mufti Kerajaan Saudi Arabia. Mereka bertanya tentang hukum
masuknya para ulama dan duat ke DPR, parlemen serta ikut dalam pemilu pada
sebuah negara yang tidak menjalankan syariat Islam. Bagaimana aturannya?
Syaikh Bin Baz menjawab bahwa masuknya mereka berbahaya,
yaitu masuk ke parlemen, DPR atau sejenisnya. Masuk ke dalam lembaga seperti
itu berbahaya namun bila seseorang punya ilmu dan bashirah serta menginginkan
kebenaran atau mengarahkan manusia kepada kebaikan, mengurangi kebatilan, tanpa
rasa tamak pada dunia dan harta, maka dia telah masuk untuk membela agam Allah
SWT, berjihad di jalan kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Dengan niat yang
baik seperti ini, saya memandang bahwa tidak ada masalah untuk masuk parlemen.
Bahkan tidak selayaknya lembaga itu kosong dari kebaikan dan pendukungnya.
Bila dia masuk dengan niat seperti ini dengan berbekal
bashirah hingga memberikan posisi pada kebenaran, membelanya dan menyeru untuk
meninggalkan kebatilan, semoga Allah SWT memberikan manfaat dengan
keberadaannya hingga tegaknya syariat dengan niat itu. Dan Allah SWT memberinya
pahala atas kerjanya itu.
Namun bila motivasinya untuk mendapatkan dunia atau haus
kekuasaan, maka hal itu tidak diperbolehkan. Seharusnya masuknya untuk mencari
ridha Allah, akhirat, membela kebenaran dan menegakkannya dengan
argumen-argumennya, niscaya majelis ini memberinya ganjaran yang besar.
d. Fatwa Keempat
Pimpinan Jamaah Ansharus sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan,
Syaikh Muhammad Hasyim Al-Hadyah bertanya kepada Syaikh bin Baz pada tanggal 4
Rabi’ul Akhir 1415 H. Teks pertanyaan beliau adalah:
Dari Muhammad Hasyim Al-Hadyah, Pemimpin Umum Jamaah
Ansharus-Sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan kepada Samahah Abdul Aziz bin Abdullah
bin Baz, mufti umum Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Hai’ah Kibar Ulama wa
Idarat Al-buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta’.
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Saya mohon fatwa atas masalah
berikut:
Bolehkah seseorang menjabat jabatan politik atau adminstratif
pada pemerintahan Islam atau kafir bila dia seorang yang shalih dan niatnya
mengurangi kejahatan dan menambah kebaikan? Apakah dia diharuskan untuk
menghilangkan semua bentuk kemungkaran meski tidak memungkinkan baginya? Namun
dia tetap mantap dalam aiqdahnya, kuat dalam hujjahnya, menjaga agar jabatan
itu menjadi sarana dakwah. Demikian, terima kasih wassalam.
Jawaban Seikh Bin Baz:
Wa ‘alaikumussalam wr wb. Bila kondisinya seperti yang Anda
katakan, maka tidak ada masalah dalam hal itu. Allah SWT berfirman,”Tolong
menolonglah kamu dalam kebaikan.” Namun janganlah dia membantu kebatilan atau
ikut di dalamnya, karena Allah SWT berfirman,”Dan janganlah saling tolong dalam
dosa dan permusuhan.” Waffaqallahul jami’ lima yurdhihi, wassalam wr. Wb.
2. Wawancara dengan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin
Pada bulan Oktober 1993 edisi 42, Majalah Al-Furqan Kuwait
mewawancarai Syaikh Muhammad bin shalih Al-’Utsaimin, seorang ulama besar di
Saudi Arabia yang menjadi banyak rujukan umat Islam di berbagai negara. Berikut
ini adalah petikan wawancaranya seputar masalah hukum masuk ke dalam parlemen.
Majalah Al-Furqan :. Fadhilatus Syaikh Hafizakumullah,
tentang hukm masuk ke dalam majelis niyabah (DPR) padahal negara tersebut tidak
menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, apa komentar Anda dalam masalah
ini?
Syaikh Al-’Utsaimin : Kami punya jawaban sebelumnya yaitu
harus masuk dan bermusyarakah di dalam pemerintahan. Dan seseorang harus
meniatkan masuknya itu untuk melakukan ishlah (perbaikan), bukan untuk
menyetujui atas semua yang ditetapkan.
Dalam hal ini bila dia mendapatkan hal yang bertentangan
dengan syariah, harus ditolak. Meskipun penolakannya itu mungkin belum diikuti
dan didukung oleh orang banyak pada pertama kali, kedua kali, bulan pertama, kedua,
ketiga, tahun pertama atau tahun kedua, namun ke depan pasti akan memiliki
pengaruh yang baik.
Sedangkan membiarkan kesempatan itu dan meninggalkan kursi
itu untuk orang-orang yang jauh dari tahkim syariah merupakan tafrit yang
dahsyat. Tidak selayaknya bersikap seperti itu.
Majalah Al-Furqan : Sekarang ini di Majelis Umah di Kuwait
ada Lembaga Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Ada yang mendukungnya tapi ada juga yang
menolaknya dan hingga kini masih menjadi perdebatan. Apa komentar Anda dalam
hal ini, juga peran lembaga ini. Apa taujih Anda bagi mereka yang menolak
lembaga ini dan yang mendukungnya?
Syaikh Al-Utsaimin: Pendapat kami adalah bermohon kepada
Allah SWT agar membantu para ikhwan kita di Kuwait kepada apa yang membuat baik
dien dan dunia mereka. Tidak diragukan lagi bahwa adanya Lembaga Amar Makmur
Nahi Munkar menjadikan simbol atas syariah dan memiliki hikmah dalam muamalah
hamba Allah SWT. Jelas bahwa lembaga ini merupakan kebaikan bagi negeri dan
rakyat. Semoga Allah SWT menyukseskannya buat ikhwan di Kuwait.
Pada bulan Zul-Hijjah 1411 H bertepatan dengan bulan Mei
1996 Majalah Al-Furqan melakukan wawancara kembali dengan Syaikh Utsaimin:
Majalah Al-Furqan: Apa hukum masuk ke dalam parlemen?
Syaikh Al-’Utsaimin: Saya memandang bahwa masuk ke dalam
majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat
baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak
orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada
keselamatan dan semakin jauh dari bala’.
Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang,
maka hendaknya dia bersumpah unutk menghormati undang-undang selama tidak
bertentangan dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya di mana
setiap orang akan mendapat sesuai yang diniatkannya.
Namun tindakan meninggalkan majelis ini buat orang-orang
bodoh, fasik dan sekuler adalah perbuatan ghalat (rancu) yang tidak
menyelesaikan masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan
majelis ini, pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak
memasukinya. Namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT
menjadikan kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia
barangkali memang benar-benar mengausai masalah, memahami kondisi masyarakat,
hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam
berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen
lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak. (lihat majalah
Al-Furqan – Kuwait hal. 18-19)
Jadi kita memang perlu memperjuangkan Islam di segala lini
termasuk di dalam parlemen. Asal tujuannya murni untuk menegakkan Islam. Dan
kami masih punya 13 ulama lainnya yang juga meminta kita untuk berjuang
menegakkan Islam lewat parlemen. Insya Allah SWT pada kesempatan lain kami akan
menyampaikan pula. Sebab bila semua dicantumkan di sini, maka pastilah akan
memenuhi ruang ini. Mungkin kami akan menerbitkannya saja sebagai sebuah buku
tersendiri bila Allah SWT menghendaki.
3. Pendapat Imam Al-’Izz Ibnu Abdis Salam
Dalam kitab Qawa’idul Ahkam karya Al-’Izz bin Abdus Salam
tercantum: Bila orang kafir berkuasa pada sebuah wilayah yang luas, lalu mereka
menyerahkan masalah hukum kepada orang yang mendahulukan kemaslahatan umat
Islam secara umum, maka yang benar adalah merealisasikan hal tersebut. Hal ini
mendapatkan kemaslahatan umum dan menolak mafsadah. Karena menunda masalahat
umum dan menanggung mafsadat bukanlah hal yang layak dalam paradigma syariah
yang bersifat kasih. Hanya lantaran tidak terdapatnya orang yang sempurna untuk
memangku jabatan tersebut hingga ada orang yang memang memenuhi syarat.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami menurut pandangan
imam rahimahullah, bahwa memangku jabatan di bawah pemerintahan kafir itu
adalah hal yang diperlukan. Untuk merealisasikan kemaslahatan yang sesuai
dengan syariat Islam dan menolakmafsadah jika diserahkan kepada orang kafir.
Jika dengan hal itu maslahat bisa dijalankan, maka tidak ada larangan secara
sya’ri untuk memangku jabatan meski di bawah pemerintahan kafir.
Kasus ini mirip dengan yang terjadi di masa sekarang ini di
mana seseorang menjabat sebagai anggota parlemen pada sebuah pemeritahan non
Islam. Jika melihat pendpat beliau di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
menjadi anggota parlemen diperbolehkan.
4. Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Dalam kitab Thuruq Al-Hikmah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (691-
751 H) dalam kitabnya At-Turuq al-Hukmiyah menulis:
Masalah ini cukup pelik dan rawan, juga sempit dan sulit.
terkadang sekelompok orang melewati batas, meng hilangkan hak-hak,dfan
mendorong berlaku kejahatan kepada kerusakan serta menjadikasn syariat itu
sempi sehingga tidak mampu memberikan jawaban kepada pemeluknya. dan
menghalangi diri mereka dari jalan yang benar, yaitu jalan untuk mengetahui
kebenaran dan menerapkannya. Sehingga mereka menolak hal tersebut, pada hal
mereka dan yang lainnya tahu secara pasti bahwa hal itu adalah hal yang wajib
diterapkan namun mereka menyangkal bahwa hal itu bertentangan dengan qowaid
syariah.
Mereka mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai yang dibawa
rosulullah, yang menjadikan mereka berpikir seperti itu kurang nya mereka dalam
memahami syariah dan pengenalan kondisi lapangan atau keduanya, sehingga begitu
mereka melihat hal tersebut dan melihat orang-orang melakukan halyang tidak
sesuai yang dipahaminya, mereka melakukan kejahatan yang panjang, kerusakan yang
besar.mka permasalahannya jadi terbalik.
Di sisi lain ada kelompok yang berlawanan pendapatnya dan
menafikan hukum allah dan rosulnya. Kedua kelompok di atas sama-sama kurang
memahami risalah yang dibawa rosulnya dan diturunkan dalam kitabnya, padahal Allah
swt. telah mengutus rasulnya dan menurunkan kitabnya agar manusia menjalankan
keadilan yang dengan keadilan itu bumi dan langit di tegakkan. Bila ciri-ciri
keadilan itu mulai nampak dan wajahnya tampil dengan beragam cara mak itulah
syariat allah dan agamanya. Allah swt maha tahu dan maha hakim untuk memilih
jalan menuju keadilan dan memberinya ciri dan tanda. maka apapun jalan yang
bisa membawa tegaknya keadilan maka itu adalah bagian dari agama, dan tidak
bertentangan dengan agama.
Maka tidak boleh dikatakan bahwa politik yang adil itu
berbeda dengan syariat, tetapi sebaliknya justru sesuai dengan syariat, bahkan
bagian dari syariat itru sendiri. kami menamakannya sebagai politik sekedar
mengikuti istilah yang Anda buat tetapi pada hakikatnya merupakan keadilan
allah dan rosulnya.
Imam yang muhaqqiq ini mengatakan apapun cara untuk
melahirkan keadilan maka itu adakah bagian dari agama dan tidak bertentangan
dengannya. Jelasnya bab ini menegaskan bahwa apapun yang bisa melahirkan
keadilan boleh dilakukan dan dia bagian dari politik yang sesuai dengan
syariah. Dan tidak ada keraguan bahwa siapa yang menjabat sebuah kekuasaan maka
ia harus menegakkan keadilan yang sesuai dengan syariat. Dan berlaku ihsan
bekerja untuk kepentingan syariat meskipun di bawah pemerintahan kafir.
5. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan
Syekh Shaleh Alfauzan ditanya tentang hukum memasuki
parlemen. Syekh Fauzan balik bertanya, “Apa itu parlemen?” Salah seorang
peserta menjawab “Dewan legislatif atau yang lainnya” Syekh, “Masuk untuk berdakwah
di dalamnya?” Salah seorang peserta menjawab, “Ikut berperan serta di dalamnya”
Syekh, “Maksudnya menjadi anggota di dalamnya?” Peserta, “Iya.”
Syeikh: “Apakah dengan keanggotaan di dalamnya akan
menghasilkan kemaslahatan bagi kaum muslimin? Jika memang ada kemaslahatan yang
dihasilkan bagi kaum muslimin dan memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen
ini agar berubah kepada Islam, maka ini adalah suatu yang baik, atau paling
tidak bertujuan untuk mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan
sebagian kemaslahatan, jika tidak memungkinkan kemaslahatan seluruhnya meskipun
hanya sedikit.”
Salah seorang peserta, “Terkadang didalamnya terjadi tanazul
(pelepasan) dari sejumlah perkara dari manusia.”
Syeikh: “Tanazul yang dimaksud adalah kufur kepada Allah
atau apa?”
Salah seorang peserta, “Mengakui.”
Syeikh: “Tidak boleh. adanya pengakuan tersebut. Jika dengan
pengakuan tersebut ia meninggalkan agamanya dengan alasan berdakwah kepada
Allah, ini tidak dibenarkan. Tetapi jika mereka tidak mensyaratkan adanya
pengakuan terhadap hal-hal ini dan ia tetap berada dalam keIslaman akidah dan
agamanya, dan ketika memasukinya ada kemaslahatan bagi kaum muslimin dan apa
bila mereka tidak menerimanya ia meninggalkannya, apa mungkin ia bekerja untuk
memaksa mereka?
Tidak mungkin kan untuk melakukan hal tersebut. Yusuf as
ketika memasuki kementrian kerajaan, apa hasil yang ia peroleh? atau kalian
tidak tahu hasil apa yang di peroleh Nabi Yusuf as?
Atau kalian tidak tahu tentang hal ini, apa yang diperoleh
Nabi Yusuf ketika ia masuk, ketika raja berkata kepadanya, “Sesungguhnya kamu
hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya dis isi kami”
Nabi Yusuf saat itu menjawab, “Jadikan aku bendaharawan negara karena aku
amanah dan pandai.” Maka beliau masuk dan hukum berada di tangannya. Dan
sekarang dia menjadi raja Mesir, sekaligus nabi.
Jadi bila masuknya itu melahirkan sesuatu yang baik,
silahkan masuk saja. Tapi kalau hanya sekedar menyerahkan diri dan ridho
terhadap hukum yang ada maka tidak boleh. Demikian juga bila tidak mendatangkan
maslahat bagi umat Islam, maka masuknya tidak dibenarkan. Para ulama berkata,
“Mendatangkan manfaat dan menyempurnakannya, meski tidak seluruh manfaat, tidak
boleh diiringi dengan mafsadat yang lebih besar.”
Para ulama mengatakan bahwa Islam itu datang dengan visi
menarik maslahat dan menyempurnakannya serta menolak mafsadah dan
menguranginya. maksudnya bila tidak bisa menghilangkan semua mafsadat maka
dikurangi, mendapatkan yang terkecil dari dua dhoror, itu yang diperintahkan.
Jadi tergantung dari niat dan maksud seseorang dan hasil yang diperolehnya. Bila
masuknya lantaran haus kekuasaan dan uang lalu diam atas segala penyelewengan
yang ada, maka tidak boleh. Tapi kalau masuknya demi kemaslahatan kaum muslimin
dan dakwah kepada jalan Allah, maka itulah yang dituntut. Tapi kalau dia harus
mengakui hukum kafir maka tidak boleh, meski tujuannya mulia. seseorang tidak
boleh menjadi kafir dan berkata “Tujuan saya mulia, saya berdakwah kepada
Allah,” tidak tidak boleh itu.”
Salah seorang peserta, “Apa yang menjadi jalan keluarnya?”
“Jalan keluarnya adalah jika memang di dalamnya ada maslahat
bagi kaum muslimin dan tidak menghasilkan madharat bagi dirinya, maka hal
tersebut tidak bertentangan. Adapun jika tidak ada kemaslahatan di dalamnya
bagi kaum muslimin atau hal tersebut mengakibatkan adanya kemadorotan yaitu
pengakuan yaitu pengakuan akan kekufuran, maka hal tersebut tidak
diperbolehkan” (Rekaman suara)
6. Syaikh Abdullah bin Qu’ud
Sebagian orang-orang meremehkan partai-partai politik Islam
yang terdapat di sejumlah negara-negara Islam seperti Aljazair, Yaman, Sudan
dan yang lainnya. Mereka yang ikut didalamnya dituduh dengan tuduhan sekuler
dan lain-lainnya. Apa pendapat Anda tentang hal tersebut? Sikap atau peran apa
yang harusnya dilakukan oleh kaum muslimin untuk menyikapi kondisi tersebut?
Jawaban : Akar persoalan dari semua itu adalah adanya
dominasi sebagian para dai terhadap yang lainnya. Dan saya berpendapat bahwa
seorang muslim yang diselamatkan Allah dari malapetaka untuk memuji Allah dan
bersyukur kepada-Nya serta berdoa untuk saudara-saudaranya di Sudan, Aljazair,
Tunisia dan negara-negara lainnya, ataupun bagi kaum muslimin yang berada di
negeri-negeri yang jelas-jelas kafir.
Dan jika hal tersebut tidak memberikan manfaat kepada
mereka, aku berpendapat minimal jangan memadhorotkan mereka. Karena sampai
sekarang tidak ada bentuk solidaritas yang nyata kepada para dai tersebut
padahal mereka telah mengalami berbagai ujian dan siksaan.
Dan kita wajib mendoakan kaum msulimin dan manaruh simpati
kepada mereka di setiap tempat. Karena seorang mokmin adalah saudara bagi
muklmin yang lainnya, jika mendengar kabar yang baik mengenai saudaranya di
Sudan, Aljazair, Tunisia atau dinegeri mana saja maka hendaknya ia merespon
positif dan seakan-akan ia berkata:
“Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya
mendapat kemenangan yang besar” (QS. An-Nisaa: 73).
Dan apa bila mendengar malapetaka yang menimpa mereka, maka
hendaklah ia mendoakan untuk saudarnya-saudaranya yang sedang diuji di negeri
mana saja, supaya Allah melepaskan mereka dari orang-orang yang sesat dan
menjadikan kekuasaan bagi kaum muslimin dan hendaklah ia memuji Allah karena
telah menjaga dirinya.
Jangan sampai ada seseorang yang bersandar dengan
punggungnya di negeri yang aman lalu mencela orang-orang atau para dai yang
berjuang demi Islam di bawah kedholiman dan keseweng-wenangan dan intimidasi.
Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan tindakan yang tidak fair. boleh
jadi engkau akan mendapat ujian jika Anda tidak merespon dengan perasaan Anda
apa yang dirasakan oleh kaum muslimin yang sedang mengalami ujian dari Allah..
Demikian petikan beberapa pendapat para ulama tentang dakwah
lewat pemilu, partai politik, parlemen dan sejenisnya. Semoga ada manfaatnya.
Wallahu’alam bi shawab
sumber: https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=427650857316857&id=205385769543368